Rabu, 06 Mei 2015

RESUME DASAR PENGHAPUS, PERINGAN, DAN PEMBERAT PIDANA



NAMA                           : Kausar Abidin
NIM                               : 1123060042
JURUSAN                     : HPI/III/A
MATA KULIAH           : HUKUM PIDANA
DOSEN                         : POPON MUNAWAROH, S.Hi.,M.H
FAKULTAS                  : SYARI’AH DAN HUKUM



RESUME
DASAR PENGHAPUS, PERINGAN, DAN PEMBERAT PIDANA
1.      Dasar yang mengahapuskan pidana
Pembentuk undang-undang (wetgever) menentukan pengecualiandengan batasan tertentu bagi suatu perbuatan tidak dapat diterapkan peraturan hukum pidana sehingga terdapat alasan penghapus pidana.
Dasar peniadaaan pidana (strafuitluitingsgronden) harus dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan (verval van recht tot strafvordering). Yang pertama ditetapkan hakim dengan menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhi pidana. Dasar penghapusan pidana harus dibedakan dan dipisahkan dari dasar penghapusan penuntutan pidana menghapuskan hak menuntut jaksa karena adanya ketentuan undang-undang.
 KUHP terdapat beberapa ketentuan yang memuat alasan-alasan yang mengecualikan atau menghapuskan pidana.
KUHP mengadakan pembagian antara :
1)      Dasar penghapusan pidana umum (Algemene Strafuitsluitingsgronden)
Algemene srtafuitsluitingsgronden berlaku untuk tiap delik, yang tercantum dalam pasal-pasal 44 dan 48-51 KUHP. (Utrecht, hal.343)
2)      Dasar penghapusan pidana khusus (Bijzondere Strafuitsluitingsgronden)
Bijzondere strafuitsluitingsgronden hanya berlaku untuk satu delik tertentu, yang tercantum dalam pasal-pasal 166, 221 ayat (2), 310 ayat (3) 367 ayat (1) KUHP dan dalam beberapa undang-undang lain dan peraturan-peraturan daerah.
Keistimewaan bijzondere strafuitsluitingsgronden yaitu mengecualikan dijatuhkannya hukuman tidak berdasarkan tidak adanya wederrechtelijkheid atau tidak adanya schuld (kesalahan dalam arti kata luas) tetapi dasar bijzondere strafuitsluitingsgronden adalah kepentingan umum tidak akan tertolong oleh suatu penuntutan pidana, pembuat undang-undang pidana menganggap lebih baik dan lebih bijaksana tidak menuntut dimuka hakim pidana.(Utrecht, 343-344).
Alasan-alasan yang dimuat dalam perundang-undangan untuk hapusnya hak penuntutan adalah:
a.       Adanya suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP yang berbunyi : “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah,orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah tetap”.
Ketentuan pasal ini dimaksudkan guna memberikan kepastian kepada masyarakat maupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut. prinsip yang dimuat dalam pasal 76 KUHP tersebut dikenal dengan ne bis in idem,yang artinya tidak boleh suatu perkara yang sama yang sudah diputus,diperiksa,dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh pengadilan.
Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap,upaya hukum tidak dapat digunakan lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut,dapat berupa:
a)      Putusan bebas
b)      Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
c)      Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum
d)     Putusan pemidanaan
b.      Kematian orang yang melakukan delik
Hal ini diatur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi: “hak menuntut hilang oleh karena meninggalnya  si tersangka.”
Ketentuan ini dilandasi dasar pemidanaan, yakni bahwa hukuman ditujukan kepada pribadi orang yang melakukan delik. Dengan demikian,apabila orang yang melakukan delik telah meninggal, tidak ada lagi penuntutan bagi perbuatan yang telah dilakukannya.
c.       Daluwarsa
Hal ini diatur dalam pasal 78 KUHP yang berbunyi:
(1)   hak untuk penuntutan pidana hapus karena daluwarsa :
1e.dalam satu tahun bagi semua pelanggaran dan bagi kejahatan yang    dilakukan dengan percetakan.
2e. dalam enam tahun bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan denda, hukuman kurungan atau hukuman penjara, yang lamanya tidak lebih dari tiga tahun.
3e. dalam dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara sementara yang lamanya lebih dari tiga tahun.
 4e.  dalam delapan belas tahun bagi semua kejahatan, yang diancam dengan hukuman mati  atau hukuman penjara seumur hidup.
(2)   untuk orang,yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun,tenggang daluwarsa yang tersebut diatas itu, dikurangi sepertiga.”
Dasar penghapusan hak penuntutan pidana itu adalah bahwa dengan berlalunya waktu yang agak lama,ingatan akan kejadian yang ada telah hilanh sehingga kemungkinan pembuktiannya menjadi rumit bahkan alat bukti kemungkinan telah lenyap.
d.      Penyelesaian perkara di luar pengadilan
Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 KUHP yang berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Hak penuntutan pidana kerena pelanggaran,yang atasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain daripada denda, hilang kalau dengan rela hati sudah dibayar maksimum denda serta juga biaya perkara.”
Ketentuan diatas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi.hal ini diatur demikian untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggaran maupun bagi aparat penuntut.
Selain hal diatas,dalam perundang-undangan (bukan KUHP), masih ada ketentuan yang dapat menghapuskan hak penuntutan atas pelaku kejahatan, yakni abolisi dan ammesti. Kedua hal tersebut merupakan hak prerogative presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR yang diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen.
Abolisi adalah penghapusan hak melakukan penuntutan pidana dan menghentikan penuntutan pidana yang telah dimmulai. Adapun amnesti adalah pernyataan pengampunan atau penghapusan hukuman kepada umum yang telah melakukan tindak-tindak pidana tertentu.
2.      Dasar yang meringankan pidana
Menurut Jonkers (1946 : 169) bahwa sebagian dasar peringanan atau pengurangan pidana yang bersifat umum, bias disebuit:
1)      Percobaan untuk melakukan kejahatan (pasal 53 KUHP).
2)      Pembantuan (pasal 56 KUHP). dan
3)      Strafrechtelijke minderjarigheid, atau orang yang belum cukum umur yang dapat di pidana (pasal 45 KUHP).
Pendapat Jonkers tersebut sesuai dengan pendapat Hezewinkel Suringan (1973 : 571), yang mengumukakan bahwa percobaaan dan pembantuan adalah bukan satu bentuk keadaan yang memberikan cirri keringanan kepada suatu delik tertentu, tetapi percobaan dan pembantuan merupakan bentuk perwujudan yang berdiri sendiri dan tersendiri delik-delik.
Pasal 45 KUHP, yang sudah ketinggalan jaman iyu, memberikan kewenangan kepada hakim untuk memilih tindakan dan pemudanaan terhadap kanak-kanak yang belum mencapai usia 16 tahun, yaitu: mengembalikan kanak-kanak kepada orang tuanya  atau walinya tanpa dijatuhi pidana; atau memerintahkan supaya anak-anak itu di berikan kepada pemerintah tanpa di piodana tanpa sarat sarat tertentu; ataupun hakim menjatuhkan pidana. Selain satu-satunya dasar peringanan pidana umum terdapat didalam pasal 45 KUHP, terdapat juga dasar peringana pidana yang khusus yang diatur didalam buku  dua KUHP, yaitu:
a.       Pasal 308 KUHP, pasal 305, dan pasal 306 ayat 1 dan 2 KUHP.
b.      Pasal 341 KUHP.
c.       Pasal 342 KUHP.

3.      Dasar yang memberatkan pidana
Menurut Jonkers (1946 : 170) bahwa dasar umum strafverhogingsgronden, atau dasar pemberatan atau penambahan pidana umum ada;lah;
1.      Kedudukan sebagai pegawai negri.
2.      Recidiv (pengulangna delik.
3.      Samenlop (gabungan dua atau lebih delik).
Kalau pengadilan hendak menjatuhkan pidana maksimum, maka pidana tertinggi yang dapat dijatuhkan  ialah maksimum pidana delik itu ditambah dengan sepertiganya.
Pasal 52 KUHP tidak dapat diberlakukan terhadap delik jabatan (ambtsdelicten) yang memang khusus diatur dalam pasal 413 sampai dengan pasal 437 KUHP, yang sebagiannya dimasukan kedalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pida korupsi. KUHP Indonesia juga tidak mengenal special recidive, tetapi menganut system antara. Hanya del;ik delik tertentu atau kelompok delik delik tertentu yang dapat membuahkan recidive (pengulangan) oleh karena itu recidive tidak diatur dalam buku satu KUHP yang menyebut beberapa delik terhadap harta benda kekayaan, pasal 487 KUHP yang menyebut delik delik agresif, dan pasal 488 KUHP yang menyebut terutama delik delik penghinaan ditambah dengan delik delik yang dilakukan oleh penerbit dan percetakan mass media (sering disebut delik pers).
Recidive atau pengulanga kejahatan tentu terjadi bilamana oleh orang yang sama mewujudkan lagi satu delik, yang dirantai oleh putusan pengadilan negri yang telah memidana pembuat delik. Penambahan pidana dalam adanya hal recidive ialah sepertiga. Pasal 486 dan 487 KUHP menetapkan, bahwa hanya ancaman pidana penjara yang dapat dinaikan sepertiganya, sedangka pasal 488 KUHP, menyatakan bahwa semua pidana untuk kejahatan-kejahatan yang disebut secara limitative, jadi juga kurungan atau denda dapat dinaikan dengan sepertiga.
Olehkarna itu pidana pemberat dapat dikatakan yaitu pidana yang dalam hukumannya itu ditambah sepertiganya karna dia telah melakukan kejahatan delik-delik yang berkelanjutan dalam satu waktu ataupun dalam beberapa waktu dan dalam penjatuhannya maka dapat dikenakan dengan dua hukuman atau diambil yang paling terberat dalam penjatuhan hukumannya dan itu tergantung apa yang di lakukan dalam deliknya dan hakim akan mempertimbangkan dalam penjatuhan hukumannya.
SUMBER BAHAN (HUKUM PIDANA 1/Prof. Dr. H.A. Zainal Abidin Farid, S.H. Sinar Grafika, 2007.-




1 komentar: